Si Miskin dan Varian Mimpi yang Terbatas #1 - Randy Lorena Candra

8 April 2018

Si Miskin dan Varian Mimpi yang Terbatas #1


Seperti biasa, mataku masih terjaga bahkan hingga malam hanya menyisakan beberapa jam saja sebelum berganti tugas dengan fajar. Entahlah, kebiasaan buruk yang sangat tak menyehatkan ini tetap saja tak bisa ku hilangkan. Entah sampai kapan.

Seperti biasa, waktu yang seharusnya aku gunakan untuk memberikan hak pada tubuh untuk beristirahat hanya ku pakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa makna. Membuka sosial media, menonton komedi penuh tawa bahkan hanya sekedar membaca berita bola.

Namun tak seperti biasa, malam sebelum fajar pada hari itu aku putuskan untuk membuka sebuah folder yang ada di salah satu barang berharga milikku. Barang yang aku beli dengan keringat dan perjuangan sendiri. Barang yang dulu pernah menjadi salah satu mimpiku. Ya sebuah laptop sederhana. Aku putuskan untuk membuka beberapa momen yang sempat tertangkap kamera selama aku menjalankan aktivitas beberapa waktu yang lalu.

Ada banyak sekali momen yang sempat tertangkap. Ada banyak sekali foto yang seolah memaksaku untuk kembali ke masa itu. Setiap foto yang tampil di layarku pagi itu seakan menceritakan kembali kisah-kisah yang pernah terjadi. Foto-foto itu seperti memintaku untuk menceritakan kepada orang-orang tentang makna dari sebuah gambar. Karena jika tidak, foto ini hanya akan menjadi hiasan yang hanya aku saja yang bisa menikmatinya. Padahal sejak dulu aku percyaya bahwa dengan berbagi cerita kita bisa menjadi inspirasi bahkan hanya dengan kisah sederhana.

Selama beberapa waktu aku menekan tombol panah ke arah kanan di keyboard untuk memindahkan foto demi foto. Begitu terus hingga akhirnya tanganku berhenti, mataku menatap agak tajam dan fikiran ke melayang ke masa lalu mencoba menguak kembali kisah apa yang ada dibalik foto itu.



Yap, fotoku dengan seorang gadis kecil bernama Yemima yang aku kenal di sebuah Desa bernama Tandun Barat. Sebuah Desa yang hingga kini masih membuat aku tak bisa melupakan setiap kenangan yang terjadi disana. Sebuah desa yang walau hanya ku tempati selama dua bulan pengabdian telah memberiku banyak kisah dan pelajaran.

Yemima, seorang gadis kecil dengan rambut ikal, memiliki pipi dengan tekstur yang begitu lembut (red : cabi/tembem). Objek yang setiap hari menjadi sasaran bagi tanganku untuk sekedar mencubitnya. Sebenarnya dibanding anak-anak lain yang ada di Desa itu Yemima tak begitu menonjol, tak juga terlalu pintar. Namun untukku dia istimewa. Sangat istimewa.

“Kenapa dia begitu istimewa?”

Yap, dia istimewa. Selain karena pipinya yang begitu lembut sebagai kesukaanku. Dia juga satu-satunya anak di malam itu yang memutuskan untuk belajar denganku. Malam dimana kami mengundang semua anak-anak untuk belajar di posko pengabdian kami. Begitu ramai sekali anak-anak yang datang malam itu. Bahkan jika jari kaki dan jari tangan digabung, tetap belum bisa mewakili jumlah anak-anak yang hadir di posko kami malam itu.

Malam itu mereka semua kami persilahkan untuk memilih ingin belajar dengan siapa saja, bebas memilih ingin bercerita pada siapa saja. Beberapa menit lamanya aku sempat sedih, karena tak satupun ada yang mencoba mendekatiku, entahlah mungkin karena wajahku yang lebih terkesan seperti narapidana, atau mungkin mereka khawatir dengan masa depan mereka yang nanti akan suram seperti kulitku jika mereka belajar denganku. Namun kesedihanku tak berlangsung lama. Yemima datang menghampiriku, dengan kalimat sederhana dia mampu menghilangkan murungku.

“Bang, aku mau belajar sama abang”.

Aku begitu bahagia, karena Allah masih relakan seorang anak kecil menjadi korban untuk kuracuni dengan hal-hal yang bermanfaat. Sejak saat itu aku bertekad bahwa Yemima akan selalu menjadi prioritasku selama KKN berlangsung. Dan benar saja itu semua aku lakukan, bahkan hingga hari terakhir kami mengabdi, tangisku tumpah ruah tatkala kami ingin pulan lantas Yemima mengejar dan memelukku dengan linangan air mata. Sungguh momen yang sangat haru yang pernah aku rasakan. Walaupun hanya dalam waktu 2 bulan, aku dan Yemima seperti punya ikatan yang begitu sulit untuk dilepaskan. Bahkan hingga tulisan ini aku susun, aku masih saja meneteskan air mata karena Rindu akan Yemima.

Kalau aku ceritakan lebih lanjut tentang Yemima, mungkin akan sangat panjang tulisanku kali ini. Tapi izinkanlah aku ceritakan beberapa kesamaan antara aku dan Yemima. Aku tak begitu kenal dengan latar belakang ekonomi keluarga Yemima, tapi aku percaya bahwa sebagian besar keluarga yang ada di Desa itu adalah keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Sama dengan diriku. Aku tak menyesalinya sama sekali. Aku bahkan menikmatinya.

Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang-orang baru yang aku temui dalam hidupku, semakin aku menemukan sebuah pola yang menurutku sangat tidak adil. Aku pernah bertemu dengan orang yang sangat kaya dan aku pernah bertemu dengan orang yang sangat miskin sepertiku. Ada pola khusus yang secara tak sengaja terbentuk sebagai akibat dari kondisi kesenjangan sosial ini.

Menurutku semakin rendah ekonomi (miskin) seseorang maka kecenderungannya adalah semakin terbatas varian mimpi yang bisa ia pilih.

Aku tak memaksa kalian untuk setuju, namun inilah yang memang aku rasakan. Aku tak berniat mengkerdilkan orang miskin, ini hanya bagian dari hasil observasi sederhanaku dalam beberapa kasus. Termasuk kasus yang pernah terjadi pada diriku dan Yemima pada suatu waktu ketika aku dan Yemima sedang bercengkrama tentang sebuah mimpi.

Masih berlanjut di Part 2, silahkan buktikan benar tidaknya pendapatku lewat kisah yang ada di part 2.

2 komentar: