Seperti biasa,
mataku masih terjaga bahkan hingga malam hanya menyisakan beberapa jam saja
sebelum berganti tugas dengan fajar. Entahlah, kebiasaan buruk yang sangat tak
menyehatkan ini tetap saja tak bisa ku hilangkan. Entah sampai kapan.
Seperti biasa, waktu yang seharusnya aku gunakan untuk memberikan hak pada
tubuh untuk beristirahat hanya ku pakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa
makna. Membuka sosial media, menonton komedi penuh tawa bahkan hanya sekedar
membaca berita bola.
Namun tak seperti biasa, malam sebelum fajar pada hari itu aku putuskan
untuk membuka sebuah folder yang ada di salah satu barang berharga milikku.
Barang yang aku beli dengan keringat dan perjuangan sendiri. Barang yang dulu
pernah menjadi salah satu mimpiku. Ya sebuah laptop sederhana. Aku putuskan
untuk membuka beberapa momen yang sempat tertangkap kamera selama aku
menjalankan aktivitas beberapa waktu yang lalu.
Ada banyak
sekali momen yang sempat tertangkap. Ada banyak sekali foto yang seolah
memaksaku untuk kembali ke masa itu. Setiap foto yang tampil di layarku pagi
itu seakan menceritakan kembali kisah-kisah yang pernah terjadi. Foto-foto itu
seperti memintaku untuk menceritakan kepada orang-orang tentang makna dari
sebuah gambar. Karena jika tidak, foto ini hanya akan menjadi hiasan yang hanya
aku saja yang bisa menikmatinya. Padahal sejak dulu aku percyaya bahwa dengan
berbagi cerita kita bisa menjadi inspirasi bahkan hanya dengan kisah sederhana.
Selama beberapa
waktu aku menekan tombol panah ke arah kanan di keyboard untuk memindahkan foto
demi foto. Begitu terus hingga akhirnya tanganku berhenti, mataku menatap agak
tajam dan fikiran ke melayang ke masa lalu mencoba menguak kembali kisah apa
yang ada dibalik foto itu.
Yap, fotoku
dengan seorang gadis kecil bernama Yemima yang aku kenal di sebuah Desa bernama
Tandun Barat. Sebuah Desa yang hingga kini masih membuat aku tak bisa melupakan
setiap kenangan yang terjadi disana. Sebuah desa yang walau hanya ku tempati
selama dua bulan pengabdian telah memberiku banyak kisah dan pelajaran.
Yemima, seorang
gadis kecil dengan rambut ikal, memiliki pipi dengan tekstur yang begitu lembut
(red : cabi/tembem). Objek yang setiap hari menjadi sasaran bagi tanganku untuk
sekedar mencubitnya. Sebenarnya dibanding anak-anak lain yang ada di Desa itu
Yemima tak begitu menonjol, tak juga terlalu pintar. Namun untukku dia istimewa.
Sangat istimewa.
“Kenapa dia
begitu istimewa?”
Yap, dia
istimewa. Selain karena pipinya yang begitu lembut sebagai kesukaanku. Dia juga
satu-satunya anak di malam itu yang memutuskan untuk belajar denganku. Malam dimana
kami mengundang semua anak-anak untuk belajar di posko pengabdian kami. Begitu ramai
sekali anak-anak yang datang malam itu. Bahkan jika jari kaki dan jari tangan
digabung, tetap belum bisa mewakili jumlah anak-anak yang hadir di posko kami
malam itu.
Malam itu mereka
semua kami persilahkan untuk memilih ingin belajar dengan siapa saja, bebas
memilih ingin bercerita pada siapa saja. Beberapa menit lamanya aku sempat
sedih, karena tak satupun ada yang mencoba mendekatiku, entahlah mungkin karena
wajahku yang lebih terkesan seperti narapidana, atau mungkin mereka khawatir
dengan masa depan mereka yang nanti akan suram seperti kulitku jika mereka
belajar denganku. Namun kesedihanku tak berlangsung lama. Yemima datang
menghampiriku, dengan kalimat sederhana dia mampu menghilangkan murungku.
“Bang, aku mau
belajar sama abang”.
Aku begitu
bahagia, karena Allah masih relakan seorang anak kecil menjadi korban untuk
kuracuni dengan hal-hal yang bermanfaat. Sejak saat itu aku bertekad bahwa
Yemima akan selalu menjadi prioritasku selama KKN berlangsung. Dan benar saja
itu semua aku lakukan, bahkan hingga hari terakhir kami mengabdi, tangisku
tumpah ruah tatkala kami ingin pulan lantas Yemima mengejar dan memelukku
dengan linangan air mata. Sungguh momen yang sangat haru yang pernah aku
rasakan. Walaupun hanya dalam waktu 2 bulan, aku dan Yemima seperti punya
ikatan yang begitu sulit untuk dilepaskan. Bahkan hingga tulisan ini aku susun,
aku masih saja meneteskan air mata karena Rindu akan Yemima.
Kalau aku
ceritakan lebih lanjut tentang Yemima, mungkin akan sangat panjang tulisanku
kali ini. Tapi izinkanlah aku ceritakan beberapa kesamaan antara aku dan
Yemima. Aku tak begitu kenal dengan latar belakang ekonomi keluarga Yemima,
tapi aku percaya bahwa sebagian besar keluarga yang ada di Desa itu adalah
keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Sama dengan diriku. Aku tak
menyesalinya sama sekali. Aku bahkan menikmatinya.
Namun seiring
berjalannya waktu, semakin banyak orang-orang baru yang aku temui dalam
hidupku, semakin aku menemukan sebuah pola yang menurutku sangat tidak adil. Aku
pernah bertemu dengan orang yang sangat kaya dan aku pernah bertemu dengan
orang yang sangat miskin sepertiku. Ada pola khusus yang secara tak sengaja
terbentuk sebagai akibat dari kondisi kesenjangan sosial ini.
Menurutku semakin rendah ekonomi (miskin)
seseorang maka kecenderungannya adalah semakin terbatas varian mimpi yang bisa
ia pilih.
Aku tak memaksa
kalian untuk setuju, namun inilah yang memang aku rasakan. Aku tak berniat
mengkerdilkan orang miskin, ini hanya bagian dari hasil observasi sederhanaku
dalam beberapa kasus. Termasuk kasus yang pernah terjadi pada diriku dan Yemima
pada suatu waktu ketika aku dan Yemima sedang bercengkrama tentang sebuah
mimpi.
Masih berlanjut di Part 2, silahkan buktikan benar tidaknya pendapatku lewat kisah yang ada di part 2.
��
BalasHapusKeren ndan...
BalasHapus