Si Miskin dan Varian Mimpi yang Terbatas #2 - Randy Lorena Candra

8 April 2018

Si Miskin dan Varian Mimpi yang Terbatas #2


Hari itu, aku dan yemima berbagi cerita tentang cita-cita.

“ Yemima, cita-citanya mau jadi apa?”
“Aku mau jadi petani bang, kayak mamak. Petani yang sukses”.
“ Kenapa jadi Petani? Kan banyak cita-cita lain yang lebih bagus”

Aku tak bermaksud mengecilkan petani, aku hanya ingin menaikkan standar mimpi dari seorang gadis kecil untuk lebih tinggi. Menggantungkan cita-cita setinggi langit, yang walaupun pada akhirnya gagal cita-cita itu akan jatuh bersama bintang-bintang.

Lalu Yemima balik bertanya
“ Menurut abang, memangnya cita-cita yang bagus itu apa?”
“ Dokter, itu pekerjaan yang mulia”. Jawabku
“ Apa bisa orang miskin jadi dokter bang? Kan untuk sekolah Dokter itu mahal bang”.

Mendengar jawaban itu aku tersentak, aku tak bisa melanjutkan pembicaraan lagi. Aku tertegun, bagaimana bisa anak sekecil ini sudah di doktrin untuk tak berani bermimpi dan bercita-cita tinggi. Sungguh miris rasanya ketika kondisi ekonomi membatasi seseorang untuk bermimpi.

Aku tak mampu menjawab. Fikiranku tiba-tiba dipaksa untuk mengingat kembali masa dimana aku kecil dulu.

Dulu sekali, ketika aku masih kecil, aku pernah melihat acara karnaval dengan orangtuaku. Aku melihat orang dengan berbagai macam pakaian, salah satunya orang berpakaian polisi lewat. Lantas waktu itu aku katakan pada orangtuaku bahwa aku juga ingin seperti itu. Bukan ingin jadi polisi tapi ingin memakai pakaian polisi (Ini dialog yang diceritakan kembali oleh orangtuaku).

Entah apa penyebabnya kala itu, bahkan aku tak berani bermimpi untuk menjadi seorang polisi. Mungkin karena observasi alam bawah sadarku yang memaksaku mengerti bahwa belum ada anggota keluargaku yang menjadi polisi. Namun ternyata mimpi sederhanaku terjawab. Aku diizinkan untuk memakai pakaian polisi karena aku sekolah di TK Bhayangkari yang salah satu seragamnya adalah pakaian polisi.

Beranjak ke SMP, saat teman-temanku bercerita tentang begitu nikmatnya liburan di luar kota, di pulau Jawa bahkan pergi keluar meninggalkan Indonesia. Aku masih tak berani bermimpi begitu jauh, mimpiku saat itu hanyalah Pekanbaru. Ibukota Provinsi yang mungkin bisa puluhan kali disinggahi oleh orang kaya. Namun waktu itu aku bahkan tidak pernah ke Pekanbaru. Hingga suatu hari, Allah menjawab mimpiku dengan cara berbeda. Allah izinkan aku ikut olimpiade Fisika mewakili sekolahku di tingkat kabupaten. Lalu menjadi terbaik kedua di kabupaten dan membawaku ke Pekanbaru sebagai salah satu perwakilan kabupaten Rokan Hilir. Mimpi sederhanaku akhirnya terjawab dengan cara yang sangat luar biasa.

Itu menjadi perjalanan ke Pekanbaru pertama yang aku ingat dalam hidupku. Setelah kejadian itu, banyak anugerah-anugerah Allah lain yang diberikan kepadaku. Sejak saat itu hingga dibangku SMA aku bahkan terhitung telah berkali-kali ke Pekanbaru dalam berbagai event Ajang Pesona Fisika, Lomba Debat Bahasa dan Sastra, Lomba Cerdas Cermat UUD 1945 dan TAP MPR, Ajang Prestasi Remaja dan lain sebagainya. Dan tak jarang aku berhasil membawa sejumlah prestasi.

Babak Semifinal Provinsi Riau (LCC 4 Pilar)

Juara 1 Kabupaten Rokan Hilir (LCC 4 Pilar)

Hingga SMA tiba jenjang dimana orang-orang sudah harus memikirkan masa depan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Aku masih saja tak berani bermimpi. Bahkan aku tak pernah berani bertanya ke orangtuaku tentang kemana nanti aku akan kuliah. Karena aku tak mau membebani orangtuaku. Yang aku tau saat itu biaya kuliah sangat mahal. Disaat yang sama juga, saat SMA mimpiku masih saja sederhana, aku ingin punya LAPTOP.


Namun Allah kembali jawab mimpi sederhanaku dengan cara yang tak biasa. Allah perkenankan aku untuk ikut Darmasiswa Chevron Riau dan menjawab mimpiku untuk punya Laptop sekaligus Allah mengizinkan aku untuk kuliah walaupun aku tak pernah berani bermimpi untuk kuliah.

(Akhirnya bisa kuliah)

Bahkan sejak kecil, aku dan Yemima dan sebagian besar orang miskin di dunia sudah terbiasa untuk memiliki mimpi yang sangat sederhana. Bukan karena kami tak ingin punya mimpi yang tinggi, tapi karena kami tak berani untuk memobohongi kondisi faktual yang terjadi dalam hidup kami. Kondisi yang memaksa kami untuk tak bermimpi terlalu tinggi.

Kini aku akhirnya bisa menjadi Sarjana dengan sejumlah capaian yang menurutku cukup bisa untuk dibanggakan. Tugasku sekarang adalah membagikan kisahku kepada orang-orang terutama kepada Yemima dan kepada semua orang miskin di Dunia bahwa miskin tak akan pernah menghalangi seseorang untuk sukses.

Suatu hari nanti, saat kau, Yemima dan teman-teman seperjuanganmu membaca tulisan abang ini dengan aplikasi apapun dimasamu, abang harap kau akan ingat bahwa benar kata abang si Miskin harus berani bermimpi. Yakinkan kepada orang lain bahwa Si miskin bukanlah orang denga Varian mimpi yang terbatas. Kami boleh bebas untuk bermimpi.

Tidak ada komentar: