2018 - Randy Lorena Candra

19 Agustus 2018

Pendebat yang Tak Ingin Berdebat
07.560 Comments
Percayalah,
Tak setiap pelawak hidupnya lucu,
Tak pula semua artis hidupnya penuh drama,
Tak pula semua penyanyi selalu berdendang ikuti bunyi.

Begitupun aku,
Aku Pendebat,
Suka berdebat,
Menikmati debat,
Tapi bukan untuk tunjukkan hebat.

Teruntuk kamu,
Ada kalanya
Saat dimana seorang pendebat
Tak suka berdebat
Untuk hal yang tak perlu diperdebatkan.

Teruntuk kamu,
Ketahuilah
Ada masa
Seorang pendebat
Tak Ingin berdebat
Bukan karena tak lagi menyukai debat,
Hanya karena ada rasa sayang yang tak ingin terlewat.

Teruntuk kamu,
Seorang pendebat,
Tak perlu berdebat,
Untuk sampaikan rasa rindu yang mencuat
Yang membuat dirinya seolah tak lagi kuat.

Teruntuk kamu,
Aku ingin sampaikan rindu,
Lewat kata dari jemariku.



Read more

4 Agustus 2018

Dialog dengan Diri
11.250 Comments
Seperti Kopi, setiap tulisan punya penikmatnya sendiri, aku tak peduli betapa tidak terstrukturnya nanti tulisan ini, Aku tetap yakin akan ada orang yang menikmati tulisan ini.

Sesuai judulnya, aku mencoba mengemas tulisan ini berbeda dari sebelumnya. Aku mencoba menceritakan kisah cukup panjang ini lewat dialog dengan diri sendiri. Semoga pertanyaan yang aku tanyakan pada diri sendiri ini, merupakan pertanyaan yang sama bagi pembaca yang mungkin tak berani menanyakan langsung.

Maka nikmatilah dialog dengan diri Tentang sebuah Proses.

A : Sudah Wisuda, Bagaimana rasanya, Ran?
B : Senang tapi tidak terlalu lega.

A : Senangnya kenapa?
B : Pada akhirnya bisa mengajak orangtua untuk pertama kalinya ke Pekanbaru. Sejak awal masuk kuliah sampai sebelum wisuda kemarin, aku belum pernah dikunjungi oleh orangtuaku. Anggaplah sekitar 5 tahun berjalan.

A :Kenapa tidak pernah dikunjungi?
B : Keluarga kami bukan keluarga dengan anggaran pendapatan dan belanja yang besar. Uang yang ada lebih baik digunakan untuk hal lain yang lebih penting. Kalaupun ada uangnya, Aku yang tidak mau dikunjungi.

A : Kenapa? Sombong sekali...
B : Justru itu yang terbaik, tidak cukupkah bikin repot orangtua saat mengandung dulu? Bikin repot orangtua jikalau harus mengurusi keperluanmu. Maka saat sudah besar, usahakan tidak bikin repot.

A : Lalu kenapa tidak lega?
B : Ya, momen paling melegakan buatku telah lewat, waktu ujian sarjana, Rasanya lepas semua beban. For your Information. Penelitianku lebih batas waktunya. Untung saja masih ada toleransi.

A : Kenapa bisa masuk jurusan MSP, Fakultas Perikanan, Univ. Riau?
B : Ceritanya panjang, Penuh perjuangan. Mau dengar?

A : Tentu saja, sedetail-detailnya ya.
B : Dulu, aku tak pernah bermimpi masuk ke Jurusan ini. Jangankan memilih jurusan, bermimpi untuk kuliah saja aku tidak berani.

A : Kenapa?
B : Masih perlu diulang? Sudah aku sampaikan, aku keluarga miskin. Aku pernah sekali bertanya ke orangtuaku, waktu itu aku berada di kelas 11 SMA, setelah lulus apakah aku akan lanjut? Mereka memilih diam, tidak mau mematikan mimpiku, namun juga tak mau memberikan harapan.

A : Lalu, bagaimana setelah itu?
B : Aku tetap percaya pada keajaiban dan anugerah Allah, namun tak mau terlalu berharap. Yang jelas saat itu aku berusaha untuk sedikit mengubur mimpi dan cita-citaku.

A : Memang apa cita-citamu?
B : Guru, Dosen atau sebutan lainnya untuk menyebut tenaga pengajar.

A : Sejak kapan, dan kenapa memilih itu?
B : Sejak kelas 2 SD, waktu itu aku pernah bertanya ke guru sebuah pertanyaan yang menurutku sangat sulit dijawab saat itu. Namun guru itu dengan senyum manisnya bisa menjawab pertanyaan itu. Maka sejak saat itu aku selalu berfikir bahwa guru adalah orang pintar dan mulia. Aku ingin seperti itu.

A : Lantas bagaimana pada akhirnya bisa kuliah?
B : Aku menerima beasiswa. Darmasiswa Chevron Riau namanya.

A : Wah, bagaimana bisa?
B : Kita mulai satu per satu ya. Waktu itu aku berada di Kelas 12 SMA, tingkat akhir. Sedang ada class meeting. Aku termenung di depan kelas karena tidak tau akan berbuat apa. Tiba-tiba ada dua orang temanku lewat. Terjadilah dialog diantara kami.

A : Dialog tentang apa?
B : intinya mereka katakan akan mendaftar beasiswa. Mereka telah dipilih oleh pihak sekolah. Aku bahkan tidak tau prosesnya sepertinya apa.

A : Lalu?
B : Aku tentu tidak terima, aku ikuti mereka lalu menanyakan kepada guru kesiswaan saat itu. Aku menanyakan bagaimana proses seleksinya. Lalu dijawab bahwa yang dipilih adalah yang juara umum (1 orang), kurang mampu (1 orang) dan aktif organisasi (1 orang). Tanpa bicara akhirnya aku keluar ruangan itu.

A : Kenapa keluar? Tidak masuk kriteria?
B : Tentu saja tidak, aku mencari penguatan.

A : Maksudnya?
B : Aku keluar untuk menjemput seorang temanku yang memang benar-benar Juara Umum 1 di sekolah. Aku ajak dia menghadap guru tersebut.

A : Untuk apa?
B : Aku sampaikan ke guruku saat itu. "Bu, saya tidak bermaksud untuk membantah keputusan pihak sekolah, namun setiap orang berhak punya kesempatan untuk dapat beasiswa kuliah kan? Kalau misalnya yang dipilih tadi adalah Juara Umum, lalu kenapa teman saya ini tidak dipilih? Dia juara umum 1 di sekolah. Kalau misalnya yang dipilih adalah siswa kurang mampu, saya rasa ibu kenal saya, saya bahkan tidak pernah bayar uang SPP sekolah. Saya dapat tunjangan miskin dari sekolah. Kalau misalnya yang dipilih adalah orang yang aktif organisasi saya rasa ibu juga tahu bahwa saya pernah jadi wakil Ketua OSIS."

A : Berani sekali, lalu hasilnya bagaimana?
B : Guru tersebut bingung dan meminta saya menghadap kepala sekolah. Saya mengikuti, saya menemui kepala sekolah dan saya menyampaikan penjelasan yang sama kepada Kepala Sekolah.

A : Hasilnya?
B : Kepala Sekolah akhirnya membuat keputusan spontan, semua juara kelas pada kelas 12 dikumpulkan untuk akhirnya dilakukan seleksi saat itu juga.

A : Seleksi apa?
B : Pertama, kami di seleksi dengan soal-soal tertulis. Dari sekitar 27 orang juara kelas, tersisa 5 orang dengan nilai tertinggi. Namun karena yang mewakili sekolah hanya 3 orang. Maka ada seleksi lanjutan.

A : Siapa saja 5 orang itu?
B : 2 orang yang dipilih sekolah sejak awal, sang juara umum 1, perwakilan kelas IPS dan saya sendiri.

A : Lalu selanjutnya?
B : Kami di tes kemampuan bahasa Inggris. Dan ternyata kemampuan kami merata. 

A : Keputusan Kepala Sekolah apa?
B : Usahaku membuahkan hasil, akhirnya yang terpilih adalah Aku, sang juara umum 1 dan perwakilan kelas IPS tadi. Namun itu baru perwakilan sekolah yang akan diadu dengan puluhan sekolah lainnya dan hanya menyisakan 5 orang perwakilan kabupaten.

A : Wah, luar biasa. Tahap lanjutannya?
B : Singkat cerita, dari 5 yang mewakili kabupaten aku dan sang Juara umum 1 menjadi 2 dari 5 orang tersebut. Akhirnya berhasil lah aku mendapat beasiswa untuk kuliah. Namun perjuangan belum selesai.

A : Apalagi memangnya?
B : Pihak pemberi beasiswa membuat persyaratan bahwa beasiswa baru akan diberikan apabila diterima di PTN atau PTS dengan akreditasi minimal B. Aku gagal lulus di jalur SNMPTN dan PBUD. Padahal aku hanya memilih Universitas Riau. Aku sempat terpuruk lagi.

A : Lalu?
B : Awalnya aku tidak mau mencoba Jalur SBMPTN, aku takut gagal lagi. Ditambah harus membayar sekiarn rupiah untuk mengikuti tes nya saat itu. Aku tak mau merepotkan orangtuaku. Namun ada seorang guru akhirnya memaksa aku untuk ikut. Bahkan beliau yang membayarkan uang pendaftarannya. Singkat cerita aku ikuti proses itu. Namun kali ini pilihan pertama aku tetapkan adalah MSP, aku tak tau itu jurusan apa. Yang jelas saat itu aku memilih karena ketika aku browsing peluang lulusnya besar. Dan ternyata memang disinilah tempatku.

A : Setelah masuk MSP, apa rasanya?
B : Canggung, bingung. Tapi tetap mencoba menikmati setiap prosesnya. Ternyata selalu ada hikmah dari setiap kejadian.

A : Apa hikmahnya?
B : Di MSP aku bisa mengukir dan mencapai banyak hal. Bisa menginjakkan beberapa kota dan daerah di Indonesia lewat praktikum lapangan, lewat event lomba dan lewat magang. Kalau di Jurusan lain aku mungkin tidak bisa mencapai ini. Bahkan aku sempat menjadi Bupati di jurusan ini.

A : Puas dengan capaian selama ini?
B : Lebih tepatnya aku bersyukur.

A : Setelah ini akan kemana dan apa target selanjutnya?
B : Menebar manfaat dan berbagi inspirasi.

A : Caranya?
B : Aku sedang berusaha mencapai kembali mimpi masa kecilku.

A : Menjadi tenaga pengajar? Bagaimana bisa?
B : Ya, aku sedang dalam tahapan seleksi Program Indonesia Mengajar. Mohon doanya agar dilancarkan.

A : Masih boleh bertanya?
B : Tentu saja.

A : Kenapa disetiap cerita kau selalu menekankan pada poin bahwa kau adalah orang miskin? Bukankah itu mengutuk keadaan?
B : Justru menurutku itu kebalikan, aku selalu fokus pada kata miskin memang disengaja. Bukan untuk mengharapkan belas kasian dan memberi tahu aib keluarga.

A : Lalu untuk apa?
B : Aku ingin sampaikan, setiap orang miskin juga berhak punya mimpi dan pendidikan tinggi. Jadi miskin bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa. Kejar terus, usaha terus. Lalu bertawakal. Walaupun aku belum jadi apa-apa dan siapa-siapa. Aku berharap capaian mahasiswa miskin sepertiku setidaknya bisa memberikan inspirasi untuk orang-orang disekitar.

A : Ada pesan yang ingin disampaikan sebelum kita akhiri dialog ini?
B : Ada, teruntuk siapapun yang membaca tulisan ini. Setiap orang pernah berada pada fase dimana dia jenuh dan merasa terpuruk. Namun percayalah, mengeluh bukanlah jalan penyelesaian masalah. Bangkit dan berusaha untuk melewatinya. Terkhusus orang miskin dimanapun berada. Teruslah berusaha untuk mengejar mimpimu.

The End.

Semoga Dialog dengan Diri ini bisa menjawab berbagai tanya. Semoga bermanfaat.



Read more

8 April 2018

Si Miskin dan Varian Mimpi yang Terbatas #2
23.100 Comments

Hari itu, aku dan yemima berbagi cerita tentang cita-cita.

“ Yemima, cita-citanya mau jadi apa?”
“Aku mau jadi petani bang, kayak mamak. Petani yang sukses”.
“ Kenapa jadi Petani? Kan banyak cita-cita lain yang lebih bagus”

Aku tak bermaksud mengecilkan petani, aku hanya ingin menaikkan standar mimpi dari seorang gadis kecil untuk lebih tinggi. Menggantungkan cita-cita setinggi langit, yang walaupun pada akhirnya gagal cita-cita itu akan jatuh bersama bintang-bintang.

Lalu Yemima balik bertanya
“ Menurut abang, memangnya cita-cita yang bagus itu apa?”
“ Dokter, itu pekerjaan yang mulia”. Jawabku
“ Apa bisa orang miskin jadi dokter bang? Kan untuk sekolah Dokter itu mahal bang”.

Mendengar jawaban itu aku tersentak, aku tak bisa melanjutkan pembicaraan lagi. Aku tertegun, bagaimana bisa anak sekecil ini sudah di doktrin untuk tak berani bermimpi dan bercita-cita tinggi. Sungguh miris rasanya ketika kondisi ekonomi membatasi seseorang untuk bermimpi.

Aku tak mampu menjawab. Fikiranku tiba-tiba dipaksa untuk mengingat kembali masa dimana aku kecil dulu.

Dulu sekali, ketika aku masih kecil, aku pernah melihat acara karnaval dengan orangtuaku. Aku melihat orang dengan berbagai macam pakaian, salah satunya orang berpakaian polisi lewat. Lantas waktu itu aku katakan pada orangtuaku bahwa aku juga ingin seperti itu. Bukan ingin jadi polisi tapi ingin memakai pakaian polisi (Ini dialog yang diceritakan kembali oleh orangtuaku).

Entah apa penyebabnya kala itu, bahkan aku tak berani bermimpi untuk menjadi seorang polisi. Mungkin karena observasi alam bawah sadarku yang memaksaku mengerti bahwa belum ada anggota keluargaku yang menjadi polisi. Namun ternyata mimpi sederhanaku terjawab. Aku diizinkan untuk memakai pakaian polisi karena aku sekolah di TK Bhayangkari yang salah satu seragamnya adalah pakaian polisi.

Beranjak ke SMP, saat teman-temanku bercerita tentang begitu nikmatnya liburan di luar kota, di pulau Jawa bahkan pergi keluar meninggalkan Indonesia. Aku masih tak berani bermimpi begitu jauh, mimpiku saat itu hanyalah Pekanbaru. Ibukota Provinsi yang mungkin bisa puluhan kali disinggahi oleh orang kaya. Namun waktu itu aku bahkan tidak pernah ke Pekanbaru. Hingga suatu hari, Allah menjawab mimpiku dengan cara berbeda. Allah izinkan aku ikut olimpiade Fisika mewakili sekolahku di tingkat kabupaten. Lalu menjadi terbaik kedua di kabupaten dan membawaku ke Pekanbaru sebagai salah satu perwakilan kabupaten Rokan Hilir. Mimpi sederhanaku akhirnya terjawab dengan cara yang sangat luar biasa.

Itu menjadi perjalanan ke Pekanbaru pertama yang aku ingat dalam hidupku. Setelah kejadian itu, banyak anugerah-anugerah Allah lain yang diberikan kepadaku. Sejak saat itu hingga dibangku SMA aku bahkan terhitung telah berkali-kali ke Pekanbaru dalam berbagai event Ajang Pesona Fisika, Lomba Debat Bahasa dan Sastra, Lomba Cerdas Cermat UUD 1945 dan TAP MPR, Ajang Prestasi Remaja dan lain sebagainya. Dan tak jarang aku berhasil membawa sejumlah prestasi.

Babak Semifinal Provinsi Riau (LCC 4 Pilar)

Juara 1 Kabupaten Rokan Hilir (LCC 4 Pilar)

Hingga SMA tiba jenjang dimana orang-orang sudah harus memikirkan masa depan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Aku masih saja tak berani bermimpi. Bahkan aku tak pernah berani bertanya ke orangtuaku tentang kemana nanti aku akan kuliah. Karena aku tak mau membebani orangtuaku. Yang aku tau saat itu biaya kuliah sangat mahal. Disaat yang sama juga, saat SMA mimpiku masih saja sederhana, aku ingin punya LAPTOP.


Namun Allah kembali jawab mimpi sederhanaku dengan cara yang tak biasa. Allah perkenankan aku untuk ikut Darmasiswa Chevron Riau dan menjawab mimpiku untuk punya Laptop sekaligus Allah mengizinkan aku untuk kuliah walaupun aku tak pernah berani bermimpi untuk kuliah.

(Akhirnya bisa kuliah)

Bahkan sejak kecil, aku dan Yemima dan sebagian besar orang miskin di dunia sudah terbiasa untuk memiliki mimpi yang sangat sederhana. Bukan karena kami tak ingin punya mimpi yang tinggi, tapi karena kami tak berani untuk memobohongi kondisi faktual yang terjadi dalam hidup kami. Kondisi yang memaksa kami untuk tak bermimpi terlalu tinggi.

Kini aku akhirnya bisa menjadi Sarjana dengan sejumlah capaian yang menurutku cukup bisa untuk dibanggakan. Tugasku sekarang adalah membagikan kisahku kepada orang-orang terutama kepada Yemima dan kepada semua orang miskin di Dunia bahwa miskin tak akan pernah menghalangi seseorang untuk sukses.

Suatu hari nanti, saat kau, Yemima dan teman-teman seperjuanganmu membaca tulisan abang ini dengan aplikasi apapun dimasamu, abang harap kau akan ingat bahwa benar kata abang si Miskin harus berani bermimpi. Yakinkan kepada orang lain bahwa Si miskin bukanlah orang denga Varian mimpi yang terbatas. Kami boleh bebas untuk bermimpi.

Read more
Si Miskin dan Varian Mimpi yang Terbatas #1
23.06 2 Comments

Seperti biasa, mataku masih terjaga bahkan hingga malam hanya menyisakan beberapa jam saja sebelum berganti tugas dengan fajar. Entahlah, kebiasaan buruk yang sangat tak menyehatkan ini tetap saja tak bisa ku hilangkan. Entah sampai kapan.

Seperti biasa, waktu yang seharusnya aku gunakan untuk memberikan hak pada tubuh untuk beristirahat hanya ku pakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa makna. Membuka sosial media, menonton komedi penuh tawa bahkan hanya sekedar membaca berita bola.

Namun tak seperti biasa, malam sebelum fajar pada hari itu aku putuskan untuk membuka sebuah folder yang ada di salah satu barang berharga milikku. Barang yang aku beli dengan keringat dan perjuangan sendiri. Barang yang dulu pernah menjadi salah satu mimpiku. Ya sebuah laptop sederhana. Aku putuskan untuk membuka beberapa momen yang sempat tertangkap kamera selama aku menjalankan aktivitas beberapa waktu yang lalu.

Ada banyak sekali momen yang sempat tertangkap. Ada banyak sekali foto yang seolah memaksaku untuk kembali ke masa itu. Setiap foto yang tampil di layarku pagi itu seakan menceritakan kembali kisah-kisah yang pernah terjadi. Foto-foto itu seperti memintaku untuk menceritakan kepada orang-orang tentang makna dari sebuah gambar. Karena jika tidak, foto ini hanya akan menjadi hiasan yang hanya aku saja yang bisa menikmatinya. Padahal sejak dulu aku percyaya bahwa dengan berbagi cerita kita bisa menjadi inspirasi bahkan hanya dengan kisah sederhana.

Selama beberapa waktu aku menekan tombol panah ke arah kanan di keyboard untuk memindahkan foto demi foto. Begitu terus hingga akhirnya tanganku berhenti, mataku menatap agak tajam dan fikiran ke melayang ke masa lalu mencoba menguak kembali kisah apa yang ada dibalik foto itu.



Yap, fotoku dengan seorang gadis kecil bernama Yemima yang aku kenal di sebuah Desa bernama Tandun Barat. Sebuah Desa yang hingga kini masih membuat aku tak bisa melupakan setiap kenangan yang terjadi disana. Sebuah desa yang walau hanya ku tempati selama dua bulan pengabdian telah memberiku banyak kisah dan pelajaran.

Yemima, seorang gadis kecil dengan rambut ikal, memiliki pipi dengan tekstur yang begitu lembut (red : cabi/tembem). Objek yang setiap hari menjadi sasaran bagi tanganku untuk sekedar mencubitnya. Sebenarnya dibanding anak-anak lain yang ada di Desa itu Yemima tak begitu menonjol, tak juga terlalu pintar. Namun untukku dia istimewa. Sangat istimewa.

“Kenapa dia begitu istimewa?”

Yap, dia istimewa. Selain karena pipinya yang begitu lembut sebagai kesukaanku. Dia juga satu-satunya anak di malam itu yang memutuskan untuk belajar denganku. Malam dimana kami mengundang semua anak-anak untuk belajar di posko pengabdian kami. Begitu ramai sekali anak-anak yang datang malam itu. Bahkan jika jari kaki dan jari tangan digabung, tetap belum bisa mewakili jumlah anak-anak yang hadir di posko kami malam itu.

Malam itu mereka semua kami persilahkan untuk memilih ingin belajar dengan siapa saja, bebas memilih ingin bercerita pada siapa saja. Beberapa menit lamanya aku sempat sedih, karena tak satupun ada yang mencoba mendekatiku, entahlah mungkin karena wajahku yang lebih terkesan seperti narapidana, atau mungkin mereka khawatir dengan masa depan mereka yang nanti akan suram seperti kulitku jika mereka belajar denganku. Namun kesedihanku tak berlangsung lama. Yemima datang menghampiriku, dengan kalimat sederhana dia mampu menghilangkan murungku.

“Bang, aku mau belajar sama abang”.

Aku begitu bahagia, karena Allah masih relakan seorang anak kecil menjadi korban untuk kuracuni dengan hal-hal yang bermanfaat. Sejak saat itu aku bertekad bahwa Yemima akan selalu menjadi prioritasku selama KKN berlangsung. Dan benar saja itu semua aku lakukan, bahkan hingga hari terakhir kami mengabdi, tangisku tumpah ruah tatkala kami ingin pulan lantas Yemima mengejar dan memelukku dengan linangan air mata. Sungguh momen yang sangat haru yang pernah aku rasakan. Walaupun hanya dalam waktu 2 bulan, aku dan Yemima seperti punya ikatan yang begitu sulit untuk dilepaskan. Bahkan hingga tulisan ini aku susun, aku masih saja meneteskan air mata karena Rindu akan Yemima.

Kalau aku ceritakan lebih lanjut tentang Yemima, mungkin akan sangat panjang tulisanku kali ini. Tapi izinkanlah aku ceritakan beberapa kesamaan antara aku dan Yemima. Aku tak begitu kenal dengan latar belakang ekonomi keluarga Yemima, tapi aku percaya bahwa sebagian besar keluarga yang ada di Desa itu adalah keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Sama dengan diriku. Aku tak menyesalinya sama sekali. Aku bahkan menikmatinya.

Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang-orang baru yang aku temui dalam hidupku, semakin aku menemukan sebuah pola yang menurutku sangat tidak adil. Aku pernah bertemu dengan orang yang sangat kaya dan aku pernah bertemu dengan orang yang sangat miskin sepertiku. Ada pola khusus yang secara tak sengaja terbentuk sebagai akibat dari kondisi kesenjangan sosial ini.

Menurutku semakin rendah ekonomi (miskin) seseorang maka kecenderungannya adalah semakin terbatas varian mimpi yang bisa ia pilih.

Aku tak memaksa kalian untuk setuju, namun inilah yang memang aku rasakan. Aku tak berniat mengkerdilkan orang miskin, ini hanya bagian dari hasil observasi sederhanaku dalam beberapa kasus. Termasuk kasus yang pernah terjadi pada diriku dan Yemima pada suatu waktu ketika aku dan Yemima sedang bercengkrama tentang sebuah mimpi.

Masih berlanjut di Part 2, silahkan buktikan benar tidaknya pendapatku lewat kisah yang ada di part 2.
Read more

25 Maret 2018

Tentang Sebuah Keyakinan
21.520 Comments

Aku lupa, kapan waktu pertama kali aku di daulat sebagai pelatih bagi adik-adik yang akan berkompetisi debat di Pekanbaru. Yang jelas, setiap kali ada event perdebatan aku selalu diminta untuk minimal memberi motivasi dan berbagi pengalaman kepada mereka. Dan beberapa kali diberi kesempatan untuk meraih gelar, namun pernah pula sama sekali tak bisa berbuat banyak. Gugur pada pertandingan pertama tapi aku sangat menikmati prosesnya.

Dalam beberapa kali kesempatan tersebut, aku coba mencari pola tentang sebuah keyakinan. Menurutku setiap orang di setiap masa punya cara berbeda untuk yakin dan percaya pada dirinya. Setiap orang di setiap masa punya tingkat keyakinan berbeda yang tak bisa dipaksakan. Bahkan jika mendatangkan Mario Teguh sekalipun untuk memotivasi tetap saja keyakinan seseorang tak bisa dipaksakan.

Dua hari belakangan, aku melatih dua tim debat yang akan bertanding selasa nanti. Jujur saja sebenarnya kemampuan mereka belum terlalu baik, namun aku tetap saja yakin masih ada kesempatan untuk mereka asal mereka bisa mengeluarkan penampilan terbaik. Namun disela sesi diskusi, aku menanyakan tentang bagaimana perasaan mereka sebelum bertanding. Mereka dengan lantang menjawab bahwa mereka tidak yakin, mereka tidak percaya diri. Menurutku ketidakyakinan ini wajar, karena ini merupakan event pertama mereka di Provinsi dan mereka semua masih muda, masih berada pada tingkat pertama di sekolah. Aku coba memberi motivasi, aku sampaikan bagaimana selama ini aku selalu meyakinkan diriku sendiri. Namun tetap saja mereka belum yakin, mereka tidak yakin pada dirinya sendiri.

Sebenarnya sederhana, kenapa seseorang tak yakin karena dia tidak menikmati bidang yang sedang dia geluti. Jika dinikmati, tak akan ada tekanan yang muncul. Selama ini, cara itu yang selalu aku pakai. Aku selalu menikmati setiap proses dan akhirnya aku bisa yakin dan percaya diri bahkan tak jarang keyakinanku hampir mendekati sombong. Tapi tak mengapa, itulah caraku agar yakin pada diriku sendiri. Cara ini sempat aku terapkan untuk adik-adik yang dilatih tahun lalu pada ajang Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI) dan alhamdulillah membuahkan hasil. Tim yang aku latih berhasil menjadi juara 2 di Provinsi Riau hanya kalah tipis dari Tim Hebat SMAN 1 Pekanbaru. Bahkan lebih hebatnya lagi salah satu pembicara dari Tim ku masuk dalam perwakilan Riau untuk Indonesia. Aku tak sepenuhnya yakin bahwa hasil ini berkat cara melatihku, tapi aku selalu sampaikan pada mereka bahwa ketika kita yakin, lawan menjadi tidak ada apa-apanya.

Cara yang sama coba aku terapkan untuk tim saat ini, namun belum bekerja dengan baik. Aku masih berusaha untuk mencari sebuah pola bagaimana untuk menimbulkan keyakinan mereka. Walaupun aku tau keyakinan tak bisa dipaksa. Tapi aku tetap yakin bahwa akan ada cara yang berhasil aku temukan untuk minimal memaksa mereka untuk tampil dengan maksimal.

Semangat Bertanding, Adik-adik SMAN 1 Bangko





Read more

24 Maret 2018

Terpesona oleh Dar
13.210 Comments
Dalam 2 hari belakangan aku seperti dibangunkan dari tidur panjang selama ini. Aku disadarkan untuk kembali mulai menulis. Mengaktifkan kembali blog pribadi yang walaupun tidak ada pengunjngnya tapi disinilah aku bisa bebas berkarya dan bercerita semaunya.

Berkat Raditya Dika lewat buku Ubur-Ubur Lembur dan Fiersa Besari lewat buku Garis Waktu yang tengah aku baca 2 hari kebelakang aku akhirnya memutuskan untuk kembali menulis dan bercerita. Ku awali dengan merapikan seluruh tulisan dan mengganti template di blog pribadiku.

Setelah aku merasa cukup puas (red : masih jauh dari kata puas), akhirnya aku memutuskan untuk memulai tulisan pertamaku setelah sekian lama. Ini juga merupakan tulisan pertamaku di tahun 2018. Sangat kesulitan rasanya untuk menemukan ide mengenai tulisan apa yang aku buat. Otakku sepertinya terbiasa dengan pola kemalasannya untuk berfikir setelah lama dibiarkan tidak bekerja.

Keinginan menulis yang menggebu akhirnya terlaksana juga. Walau sedikit susah menemukan ide.akhirnya kuputuskan untuk bercerita tentang seorang gadis mempesona. Sejak awal ingin sekali rasanya aku bercerita tentang orang baru yang mulai hadir dalam ceritaku beberapa hari belakangan. Kupanggil wanita ini dengan sebutan Dar. Bukan tanpa alasan, aku berharap suatu hari ini saat waktunya tepat maka akan kutambahkan ling di nama panggilannya sehingga aku bisa memanggilnya Darling.

Jika diminta untuk menceritakan mengapa aku bisa terpesona dengannya, akupun bingung harus menjawab apa. Tak ada alasan khusus. Bahkan sebelumnya aku tak pernah sekalipun terlibat komunikasi dengan wanita ini. Namun jujur saja, setiap melihat wajahnya seperti begitu indah duniaku ini rasanya. Semua masalah yang ada seperti sejenak menghilang. Dia begitu membuatku candu.

Jika dibandingkan dengan wanita lain, mungkin banyak yang lebih baik, lebih cantik dan lebih dalam segala hal dibanding dia. Tapi entah mengapa aku terpesona. Semakin aku berfikir bahwa rasa ini hanya euforia semata maka akan semakin bertambah rasa canduku akannya. Aku bingung harus menyebut ini apa. Entah rasa apa yang sedang aku rasakan kini. Yang jelas aku senang untuk terus terpesona dengannya. Aku senang untuk terus menjadi korban dari candunya.

Teruntuk kamu, dar. Suatu hari nanti aku ingin kau tahu bahwa tanpa sadar kau berhasil membuatku terpesona. Tanpa melakukan banyak aksi nyata, tanpa banyak bercerita bahkan tak pula pernah kita bercengkrama. Tapi kauh berhasil membuat aku terpesona. Sangat terpesona. Teruslah mempesona, Dar.

Dengan penuh rasa,
Pengagummu




Read more