Hari itu, aku dan
yemima berbagi cerita tentang cita-cita.
“ Yemima,
cita-citanya mau jadi apa?”
“Aku mau jadi
petani bang, kayak mamak. Petani yang sukses”.
“ Kenapa jadi
Petani? Kan banyak cita-cita lain yang lebih bagus”
Aku tak
bermaksud mengecilkan petani, aku hanya ingin menaikkan standar mimpi dari
seorang gadis kecil untuk lebih tinggi. Menggantungkan cita-cita setinggi
langit, yang walaupun pada akhirnya gagal cita-cita itu akan jatuh bersama
bintang-bintang.
Lalu Yemima
balik bertanya
“ Menurut abang,
memangnya cita-cita yang bagus itu apa?”
“ Dokter, itu
pekerjaan yang mulia”. Jawabku
“ Apa bisa orang
miskin jadi dokter bang? Kan untuk sekolah Dokter itu mahal bang”.
Mendengar
jawaban itu aku tersentak, aku tak bisa melanjutkan pembicaraan lagi. Aku tertegun,
bagaimana bisa anak sekecil ini sudah di doktrin untuk tak berani bermimpi dan
bercita-cita tinggi. Sungguh miris rasanya ketika kondisi ekonomi membatasi
seseorang untuk bermimpi.
Aku tak mampu
menjawab. Fikiranku tiba-tiba dipaksa untuk mengingat kembali masa dimana aku
kecil dulu.
Dulu sekali,
ketika aku masih kecil, aku pernah melihat acara karnaval dengan orangtuaku. Aku
melihat orang dengan berbagai macam pakaian, salah satunya orang berpakaian
polisi lewat. Lantas waktu itu aku katakan pada orangtuaku bahwa aku juga ingin
seperti itu. Bukan ingin jadi polisi tapi ingin memakai pakaian polisi (Ini
dialog yang diceritakan kembali oleh orangtuaku).
Entah apa
penyebabnya kala itu, bahkan aku tak berani bermimpi untuk menjadi seorang
polisi. Mungkin karena observasi alam bawah sadarku yang memaksaku mengerti
bahwa belum ada anggota keluargaku yang menjadi polisi. Namun ternyata mimpi
sederhanaku terjawab. Aku diizinkan untuk memakai pakaian polisi karena aku
sekolah di TK Bhayangkari yang salah satu seragamnya adalah pakaian polisi.
Beranjak ke SMP,
saat teman-temanku bercerita tentang begitu nikmatnya liburan di luar kota, di
pulau Jawa bahkan pergi keluar meninggalkan Indonesia. Aku masih tak berani
bermimpi begitu jauh, mimpiku saat itu hanyalah Pekanbaru. Ibukota Provinsi
yang mungkin bisa puluhan kali disinggahi oleh orang kaya. Namun waktu itu aku
bahkan tidak pernah ke Pekanbaru. Hingga suatu hari, Allah menjawab mimpiku
dengan cara berbeda. Allah izinkan aku ikut olimpiade Fisika mewakili sekolahku
di tingkat kabupaten. Lalu menjadi terbaik kedua di kabupaten dan membawaku ke
Pekanbaru sebagai salah satu perwakilan kabupaten Rokan Hilir. Mimpi
sederhanaku akhirnya terjawab dengan cara yang sangat luar biasa.
Itu menjadi perjalanan
ke Pekanbaru pertama yang aku ingat dalam hidupku. Setelah kejadian itu, banyak
anugerah-anugerah Allah lain yang diberikan kepadaku. Sejak saat itu hingga
dibangku SMA aku bahkan terhitung telah berkali-kali ke Pekanbaru dalam
berbagai event Ajang Pesona Fisika, Lomba Debat Bahasa dan Sastra, Lomba Cerdas
Cermat UUD 1945 dan TAP MPR, Ajang Prestasi Remaja dan lain sebagainya. Dan tak
jarang aku berhasil membawa sejumlah prestasi.
Babak Semifinal Provinsi Riau (LCC 4 Pilar) |
Juara 1 Kabupaten Rokan Hilir (LCC 4 Pilar) |
Hingga SMA tiba
jenjang dimana orang-orang sudah harus memikirkan masa depan untuk melanjutkan
pendidikan tinggi. Aku masih saja tak berani bermimpi. Bahkan aku tak pernah
berani bertanya ke orangtuaku tentang kemana nanti aku akan kuliah. Karena aku
tak mau membebani orangtuaku. Yang aku tau saat itu biaya kuliah sangat mahal. Disaat
yang sama juga, saat SMA mimpiku masih saja sederhana, aku ingin punya LAPTOP.
Namun Allah
kembali jawab mimpi sederhanaku dengan cara yang tak biasa. Allah perkenankan
aku untuk ikut Darmasiswa Chevron Riau dan menjawab mimpiku untuk punya Laptop
sekaligus Allah mengizinkan aku untuk kuliah walaupun aku tak pernah berani
bermimpi untuk kuliah.
(Akhirnya bisa kuliah)
(Akhirnya bisa kuliah)
Bahkan sejak
kecil, aku dan Yemima dan sebagian besar orang miskin di dunia sudah terbiasa
untuk memiliki mimpi yang sangat sederhana. Bukan karena kami tak ingin punya
mimpi yang tinggi, tapi karena kami tak berani untuk memobohongi kondisi
faktual yang terjadi dalam hidup kami. Kondisi yang memaksa kami untuk tak
bermimpi terlalu tinggi.
Kini aku
akhirnya bisa menjadi Sarjana dengan sejumlah capaian yang menurutku cukup bisa
untuk dibanggakan. Tugasku sekarang adalah membagikan kisahku kepada
orang-orang terutama kepada Yemima dan kepada semua orang miskin di Dunia bahwa
miskin tak akan pernah menghalangi seseorang untuk sukses.
Suatu hari
nanti, saat kau, Yemima dan teman-teman seperjuanganmu membaca tulisan abang
ini dengan aplikasi apapun dimasamu, abang harap kau akan ingat bahwa benar
kata abang si Miskin harus berani bermimpi. Yakinkan kepada orang lain bahwa Si
miskin bukanlah orang denga Varian mimpi yang terbatas. Kami boleh bebas untuk
bermimpi.